Tahun
2009 merupakan tahun yang memilukan bagi para aktivis lembaga kemahasiswaan dan
pengurus UKM UNM. Pasalnya pada tahun tersebut kebijakan larangan aktifitas
malam mulai diberlakukan di kampus ini. Lahirnya kebijakan ini adalah kegerahan
pihak kampus melihat kelakuan oknum mahasiswa preman yang doyan melakukan aksi
anarkis, tawuran, dan perilaku tidak terpuji sehingga pihak birokrat
mengeluarkan sebuah surat instruksi mengenai kebijakan pengosongan kampus dan
larangan aktivitas semalam. Keputusan ini dirasa amat merugikan sebagian besar
mahasiswa khususnya para aktivis kampus dan pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM) UNM karena pihak birokrasi dengan sepihak mengambil kesimpulan bahwa salah
faktor yang memicu terjadinya aksi anarkisme adalah tingginya aktivitas malam
oleh mahasiswa UNM dan mengenaralisasikannya kepada seluruh Lembaga
Kemahasiswaan (LK) yang ada di UNM termasuk seluruh UKM.
Empat
tahun telah berlalu dan kebijakan ini masih tetap berjalan. Namun
permasalahnnya, justifikasi dari pihak birokrat dengan memberlakukan kebijakan
ini dapat mengurangi aksi anarkisme yang terjadi di UNM ternyata tidaklah
efektif. Kita masih bisa melihat hampir setiap tahun selalu ada kasus anarkisme
yang terjadi di kampus ini. Bahkan yang memilukan kejadian tahun lalu, aksi
tawuran malah memakan korban (lagi). Terlebih pada kejadian yang baru saja
terjadi dimana bentrok mahasiswa masih saja terjadi yang berimbas pada
pembakaran UKM saat ini yang kerugiannya lebih ratusan juta rupiah.
Bandingkan
saja dengan beberapa kampus yang ada di Makassar, kasus tawuran, bentrok
mahasiswa di kampus ini masih sangat tinggi. Memilukan tapi fakta berkata
demikian. Kampus ini terkenal karena kasus anarkisnya, bentroknya dan
tawurannya. Padahal jika diselidiki, sebenarnya kampus ini sejak dulu kaya
akan prestasi. Akibat nila setitik, rusak susu sebelanga, itu juga berlaku pada
kampus ini. Perbuatan segelintir mahasiswa telah merusak masa depan seluruh
mahasiswa UNM. Masa depan kejelasan alumni yang susah mencari pekerjaan karena
citra negatif kampus kita, dan masa depan para aktifis lembaga kemahasiswaan
termasuk UKM karena kebijakan ini lagi-lagi terkesan membatasi kreativitas
mahasiswa.
Pasalnya
kebijakan pengosongan kampus dan larangan aktivitas bermalam telah merugikan
kegiatan lembaga kemahaisiswaan dan UKM. Jam operasional kampus saat ini hanya
membolehkan mahasiswa berada di kampus hingga pukul 18.00 WITA, sedangkan jam
berakhirnya perkuliahan dan praktikum mahasiswa terkadang sampai pukul 18.00
wita. Tentunya hanya jam malam yang efektif dapat mengumpulkan pengurus
organisasi kemahasiswaan untuk membahas realisasi program kerja, latihan dan
persiapan kebutuhan pelaksanaan kegiatan yang akan dilakukan seperti pada jurusan
saya yang akan menggelar kegiatan gebyar atom, yaitu sebuah event perlombaan
kimia SMA terbesar se-sul-sel-bar, namun sayangnya karena larangan ini, kami
bahkan mendapat ancaman skorsing dan panggung kegiatan yang telah kami buat
akan dihancurkan oleh pihak birokrat. kami bukanlah mahasiswa yang anarkis,
bahkan kami adalah salah satu pihak yang menolak keras anarkis itu, namun kami
harus merasakan imbas dari kebijakan ini. Usaha negosiasi dengan pihak birokrat
telah dilakukan, tapi kami tetap tidak mendapat izin aktifitas malam. Ini bukan
hanya kami yang mengalami tapi hampir semua lembaga kemahasiswaan dan UKM yang
ada di UNM.
Padahal
kegiatan positif yang seperti ini yang harusnya lebih diintensifkan, diberi
jalan, bukannya dihadang. Sulitnya izin malam yang dilakukan oleh UKM dan LK
seakan membatasi dan sangat membatasi kerja-kerja mahasiswa. Membatasi
kerja-kerja mahasiswa sama saja dengan membatasi kreativitas mahasiswanya.
Membatasi kreativitas mahasiswa sama dengan perguruan tinggi ini telah
kehilangan esensi sebagai lembaga pendidikan. Menurut pandangan Paula
Freire pendidikan adalah proses pengaderan dengan hakikat tujuannya adalah
pembebasan. Hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri
bukan untuk mendikte bahkan mengekang dan itulah yang menjadi kepincangan dari
kebijakan ini.
Seharusnya
jika perguruan tinggi ini serius menangani masalah anarkis yang ada pada
mahasiswanya bukan malah dengan mengekang dengan memberlakukan kebijakan ini.
Justru kebijakan ini akan membuat mahasiswanya semakin memberontak untuk
menuntut hak kebebasan berkarya dan menjalankan amanah organisasi dengan
maksimal. Masalah tawuran, anarkis, bentrok mulanya terjadi karena kurang
dewasanya mahasiswa tersebut dalam menangani sebuah permasalahan yang terjadi
antar individu. Coba saja jika mahasiswa tersebut dewasa pemikiran, masalah
tawuran berkepanjangan yang selama ini terjadi tidak akan berlarut-larut hingga
hari ini. Solusi yang selama ini dihadirkan para pihak birokrat hanyalah
penanganan secara eksternal seperti kebijakan kampus ini sehingga ketika ada
kesempatan, bentrok akan pecah lagi. Seharusnya ada penanganan secara
interpersonal kepada mahasiswa, misalnya dengan pelaksanaan program character
building yang bertujuan untuk menanamkan karakter kebangsaan,
mendewasakan pemikiran mahasiswa dan sugesti bahwa segala bentuk anarkis
apalagi tawuran tidak layak dilakukan untuk mereka yang berstatus
pelajar/mahasiswa. Ini hanyalah sekedar masukan dari saya, seorang mahasiswa
biasa-biasa saja di kampus ini yang juga turut prihatin dengan kondisi
kampusnya saat ini.
Saya
berharap kebijakan Pengosongan Kampus dan Larangan Aktivitas Malam dapat
ditinjau kembali karena dampaknya lebih banyak merugikan mahasiswa yang
sebenarnya hanya menjadi korban juga dari segelintir mahasiswa preman.
Sebenarnya ini jugalah yang menjadi tuntutan para pihak LK dan UNM yang
sebelumnya telah banyak melakukan aksi menolak kebijakan yang dianggap tidak
efektif ini. Namun apalah daya, toak kami telah soak, capek meneriakkan segala
keluhan yang ternyata tidak direspon juga. Jadi, biarlah tulisan ini menjadi
salah satu senjata kami lagi sebagai wujud protesku dan semoga bisa
menjembatani aspirasi kami yang selama ini terlupakan.
Salam perubahan, salam pembebasan dan HIDUP MAHASISWA...